MEMPERBANYAK AMAL SUNNAH MENDATANGKAN CINTA DARI ALLAH
MEMPERBANYAK AMAL SUNNAH MENDATANGKAN CINTA DARI ALLAH
Seorang hamba mencitai Allah itu suatu hal yang biasa.
Karena manusia cenderung mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Yang
sangat menakjubkan adalah ketika Allah mencintai hamba-Nya. Padahal Allah tidak
butuh kepada makhluk-Nya.
Di antara sarana untuk menggapai cinta Allah adalah
mengerjakan amal-amal sunnah setelah yang fardhu (wajib).
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah membuat suatu
perumpamaan yang sangat bagus, bahwa “Kebiasaan ini telah berlaku. Sarana yang
digunakan untuk mendekatkan diri biasanya bukan sesuatu yang diwajibkan.
Misalnya, hadiah. Berbeda dengan orang yang mengeluarkan pajak dan membayar
hutang (yang wajib ditunaikan).
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي
وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالْنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبُّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ
يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ
الَّتِي يَمْشِى بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي أَعْطَيْتُهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّهُ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah
Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka Aku menyatakan perang
kepadanya. Tidak ada seorang pun yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang paling Aku sukai daripada dengan menjalankan apa-apa yang telah Aku fardhukan
kepadanya. Hamba-Ku masih selalu mendekatkan diri kepadaku dengan ibadah-ibadah
nafilah sehingga Aku mencintainya.
Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengar
dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangannya
yang ia memukul dengannya, dan menjadi kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia
memohon kepada-Ku, pasti Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan pasti
Aku akan melindunginya’.” (HR. Bukhari)
Penjelasan hadits (Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin):
Setiap orang yang menjadi musuh musuh sebagian wali Allah,
bersikap perang kepada Allah, naudzubillah.Seperti memakan harta riba,
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu..” (QS. Al-Baqarah: 279)
Pertanyaannya adalah, “Siapakah wali Allah itu?
Wali Allah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا
هُمۡ يَحۡزَنُونَ (٦٢ ) ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ (٦٣)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)Barangsiapa yang beriman dan bertakwa kepada Allah, maka ia adalah wali Allah. Maka barangsiapa memusuhi mereka adalah menyatakan perang kepada Allah. Na’udzubillah.
Kemudian pada hadits di atas dikatakan,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ،
"..Tidak ada seorang
hamba pun yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku sukai
daripada dengan menjalankan apa-apa yang telah aku fardhukan kepadanya..”
Yakni, sesuatu yang paling dicintai oleh Allah dari sesuatu
yang fardhu (wajib) hukumnya, seperti; shalat zhuhur lebih Allah sukai daripada
shalat rawatib zhuhur, shalat maghrib lebih dicintai oleh Allah daripada shalat
rawatib maghrib, dst. Dan shalat-shalat fardhu lebih Allah cintai dariapda
shalat qiyamul lail (shalat malam).
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالْنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبُّهُ
“Hamba-Ku masih selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan
ibadah-ibadah nafilah (sunnah) sehingga Aku mencintainya.”
Dalam hadits ini terdapat sebuah isyarat bahwa sebagian dari
sebab-sebab kecintaan Allah adalah dengan memperbanyak ibadah nafilah dan
shalat tathawu’. Nafilah shalat, nafilah
zakat, nafilah puasa, nafilah haji, dan nafilah lainnya.
Seorang hamba selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan
berbagai ibadah nafilah sehingga Allah mencintainya. Jika Allah mencintainya,
maka Allah menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, menjadi
penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangannya yang ia berbuat
denganya, menjadi kekainya yang ia
berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Nya. Dia pasti memberinya,
dan jika ia berlindung kepada-Nya, pasti Dia melindunginya.
كُنْتُ سَمْعَهُ (Aku menjadi pendengarannya), yakni Aku akan
meluruskan pendengarannya. Sehingga ia tidak mendengarkan kecuali apa-apa yang
diridhai oleh Allah. وَبَصَرَهُ (menjadi
penglihatannya) Yakni, Aku akan meluruskan penglihatannya. Sehingga ia tidak
melihat kecuali segala yang dicintai oleh Allah. وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِى بِهَا (menjadi tangannya yang ia memukul dengannya)
sehingga ia tidak berbuat dengan tangannya melainkan pada bidang-bidang yang
diridhai oleh Allah Ta’ala. وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِى بِهَا
(dan menjadi kaki yang ia berjalan dengannya) maka ia tidak akan berjalan dengan
kakinya melainkan untuk tujuan yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Sehingga ia menjadi hamba yang benar dalam perakataan dan perbuatan.
وَإِنْ سَأَلَنِي أَعْطَيْتُهُ
(jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku beri). Ini adalah sebagian buah dari berbagai
ibadah nafilah dan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bahwa jika ia memohon
kepada Allah pasti Allah akan memberinya. وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي (dan jika ia meminta perlindungan), yakni
berlindung kepada-Ku dari hal-hal yang ia takuti keburukannya. لَأُعِيْذَنَّهُ (pasti Aku
melindunginya), ini sebagian dari tanda-tanda kecintaan Allah bahwa dengan itu
manusia mudah meluruskan perkataan dan perbuatannya. Jika diluruskan, maka hal
itu menunjukkan bahwa Allah sangat mencintainya.
Yang dimaksud mendekatkan diri dengan amal yang sunnah
(nawafil) adala setelah melaksanakan yang fardhu (wajib).
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Semua amal sunnah
disyariatkan untuk menutupi atau menambal kekurangan dari amal fardhu.
Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits shahih, “Perhatikan! Adakah dari
hamba-Ku yang mengerjakan amal sunnah agar sempurna amal fardhunya.” Yang
dimaksud dengan taqarrub binnawafil (mendekatkan diri dengan amal sunnah)
dilakukan oleh orang yang telah melaksanakan yang fardhu. Bukan orang yang meninggalkannya
atau tidak sempurna mengerajakannya.” (Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani,
11/351)
Hadits di atas juga mengandung faidah, “Ada dua golongan
yang akan selamat dan bahagia:
Pertama, orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan mengerjakan amal fardhu dan mentaati aturan-aturan-Nya.
Kedua, orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yakni,
orang yang mendekatkan diri dengan amal sunnah setelah mengerjakan amal fardhu.
Inilah maksud perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Karena hal itu dapat
mengantarkan pada derajat dicintai setelah mencintai.”
[Sumber Utama: Kitab Syarah Riyadhushshalihin, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin]
Post a Comment